Custom Search

20/01/08

Tenaga Kerja Asing di Indonesia (Etika Keseimbangan - World Class Competency)

Dalam iklim dunia usaha yang sudah menglobalisasi ini, negara kita membutuhkan investor untuk memajukan negara kita. Sejalan dengan itu, terbukti banyak tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia untuk menanamkan modalnya. Hal ini sangatlah menggembirakan dari sisi penanaman modal (investasi). Dari catatan di Departement tenaga Kerja & Transmigrasi diperoleh bahwa tenaga kerja asing terbanyak yang ada di Indonesia adalah Jepang, Kanada, Australia, Amerika Serikat dan Inggris yang berada dalam jajaran yang paling besar mengirimkan tenaga kerjanya. Kawasan Asia seperti India, Thailand, Taiwan, Korea Selatan & Singapura merupakan yang terbanyak untuk mengirimkan tenaga kerjanya ke Indonesia.

Sepintas, memang hal ini menggembirakan karena berarti iklim investasi Indonesia sudah mulai bergerak. Indonesia memang membutuhkan modal dari dalam negri dan asing untuk membangun dimana pengangguran yang semakin bertambah akan menghantui jutaan rakyat negri ini.

Namun secara kasat mata hal ini tidak lah berjalan dengan mulus. Pernak-pernik tenaga kerja asing memang masih merupakan problem yang tidak akan pernah habis-habisnya di negara kita ini. Seperti kasus tenaga kerja asing yang menyalahi ijin peruntukannya, tidak memiliki ijin tinggal, transfer teknologi yang tidak berkelanjutan, pelecehan skill & performance tenaga lokal oleh tenaga kerja asing, dan sebagainya.


Meskipun demikian fakta yang terjadi adalah sudah semakin banyak tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia seperti bisa kita lihat pada grafik diatas ini, dengan pertanyaan selanjutnya bahwa apakah memang diperlukan sedemikian banyaknya tenaga kerja asing.....?

Etika Keseimbangan
Pernah terjadi di dalam pertemuan rutin tahunan dari sebuah asosiasi perkumpulan sebuah bidang usaha yang bergengsi dan dihadiri oleh kebanyakan dari tenaga kerja asing, seorang pejabat di dalam sambutannya mengatakan bahwa beliau merasa miris melihat laporan keuangan sebuah perusahaan yang isinya menyebutkan bahwa pengeluaran seorang tenaga kerja asing itu sama dengan pengeluaran dari 50% dari seluruh pekerja di perusahaan tersebut. Beliau mengharapkan agar pimpinan perusahaan tersebut lebih akomodatif terhadap tenaga kerja lokal. Dalam pertemuan tersebut, pimpinan perusahaan tersebut menjawab bahwa perusahaannya adalah perusahaan kelas dunia dan kami siap & bersedia untuk membayar mahal dan tidak ada masalah dengan hal ini.


Komunikasi yang terjadi itu adalah menyiratkan bahwa perusahaan tersebut berkomitmen untuk menjadi pemain bisnis kelas dunia dan mampu berkompetisi dengan siapa saja. Tentu saja hal ini wajib diteladani oleh setiap pebisnis dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk berkarya dan menjadi konglomerasi yang menggurita.

Namun dibalik semua itu, yang menjadi pemikiran balik adalah, apakah hasil yang dicapai sudah seimbang dengan pengeluarannya ? Apakah sebanding ? Apakah sesuai dengan norma hukum di negara kita dan negara tempat tenaga kerja asing tersebut berasal ? Serta apakah kita sudah bisa meningkatkan kompetensi dari tenaga kerja lokal kita dengan mengembangkan sumber daya manusianya secara nyata ?

Tenaga Kerja Indonesia dewasa ini sudah mampu bersaing di pasaran internasional secara teoritikal dan prakteknya. Namun sindrome ketidak percayaan diri dan ketidakpercayaan dari pihak lain ini yang menyebabkan tenaga lokal kurang dihargai oleh perusahaan yang notabene pemiliknya adalah management asing. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, namun terlepas dari berbagai macam permasalahan yang ada, mari kita mulai secara arif untuk mengembangkan Sumber Daya Manusia Indonesia secara konsisten dan memberlakukan etika kemanusia yang berkeadilan. Karena ketidakadilan meskipun sudah dibungkus oleh keadilan yang menyakitkan akan membuahkan sebuah pemberontakan.

Widhi Setyo Kusumo
WhiteHouse Consulting
http://salarysurvey-indonesia.blogspot.com/
http://widhisetyok.blogspot.com/

16/01/08

Eyang Soeharto

Pak Harto
Saya bukan keluarga bapak
Bahkan tidak mengenal putra-putri bapak
Apalagi dekat dengan bapak
Bahkan proyek-proyek keluarga bapak serta kelompok-kelompoknyapun saya tidak tahu & tidak kecipratan

Pak Harto,
Sedih rasanya melihat tayangan berita di televisi
Trenyuh rasanya melihat ketidakberdayaan yang ditampilkan
Miris rasanya melihat kondisi bapak

Pak Harto,
Saya yakin bahwa sekarang bapak sudah berdamai dengan dunia
Saya yakin bapak sudah mengikhlaskan diri untuk kepangkuan-Nya

Pak Harto
Meskipun jaman dahulu saya tidak simpatik dengan bapak,
Namun sekarang saya lihat adalah :
Seorang sahabat, ayah dan eyang yang sepuh yang membutuhkan doa & cinta.

Pak Harto
Allah sedang menunggu untuk memelukmu
Memeluk dengan hati yang ikhlas & damai

Saya tidak mampu berkata-kata lagi
Saya tidak tahu mengapa saya berkaca-kaca dalam hati.

Jakarta, Januari 2008

13/01/08

Komunikasi Intelektual

Hari minggu, biasanya saya melewatkan dengan bercanda & bergurauan dengan putriku tersayang. Kadangkala saya masih menyempatkan diri untuk membaca, menulis goretan-goretan yang masih berupa bahan mentah dan kadangkala tidak berguna (dalam bahasa saya).

Kebetulan di sebuah stasiun swasta sedang ada siaran berita. Pada saat berita kriminal, saya terkejut begitu melihatnya. 2 berita yang menggelitik dan mengingatkan aku pada cerita lalu. Berita itu adalah :

1. Seorang istri polisi dan anaknya yang berumur 3 tahun dibunuh dengan kejam di Bitung, hanya karena dituduh mencuri handphone. Kedua-duanya tewas mengenaskan.
2. Di Semarang, seorang bapak sambil menggendong anaknya yang baru berumur 6-7 bulan dibakar oleh tamunya sendiri. Kejadian ini mengakibatkan sang ayah tewas mengenaskan dan putranya tersebut harus menjalani operasi plastik. Dan akibatnya adalah sang istrinya itu sekarang harus menanggung biaya keseluruh anaknya yang berjumlah 6 orang.dosen.

Pelaku-pelaku tersebut pastilah tidak memiliki hati nurani yang paling dalam ketika melakukan aksi pembunuhan tersebut. Menurut kriminolog Adrianus Meliala, kekerasan ini biasanya berasal dari orang-orang terdekat. Kata beliau lagi, berhati-hatilah dalam berbicara, berpendapat bahkan berkomunikasi terhadap seluruh manusia. Sebuah "Rapport" yang buruk / Komunikasi yang buruk akan mengakibatkan terlukanya salah satu pihak. Dan ini akan merugikan bagi kedua belah fihak. Kisah ini menjadikan aku melakukan flashback dengan 2 buah kejadian yang sangat mirip dengan pemberitaan yang ada di televisi itu, namun tidak berakhir dengan kondisi yang tragis.

Kejadian pertama adalah ketika saya menjalani pendidikan sarjana di sebuah perguruan tinggi di kota Bandung yang katanya pendidikan tinggi teknik nomor satu di Indonesia (mirip seperti iklan kecap nomor satu dan tidak ada kecap nomor dua). Dengan berbekal jaket cap gajah bengkak, pastilah sekota Bandung mengetahui bahwa kita adalah mahasiswa. Namun bukan cerita ini yang hendak saya sampaikan, namun saya teringat pada masa kuliah dulu, dimana gedung dan bangunannya masih arsitektur kuno. Bangunan-bangunan kampus yang sekarang saya lihat sudah banyak berbeda. Penuh dengan gedung-gedung bertingkat yang megah.

Pada waktu itu saya sering mengalami peristiwa demi peristiwa dimana dosen sangat berkuasa dan dominan bahkan sebagian dari mereka melakukan intimidasi psikologis kepada para mahasiswanya termasuk saya sendiri. Kalimat-kalimat yang menyakitkan, ejekan bahkan celaan yang sinis sering diungkapkan kepada para mahasiswa yang indeks prestasinya tergolong NASAKOM atau WIRO SABLENG. Maaf, istilah ini adalah istilah khusus bagi para mahasiswa yang tidak pandai alias bodoh termasuk saya ini. NASAKOM itu adalah Nasib Satu Koma dan WIRO SABLENG adalah Pendekar Kapak Nagageni 212 yang dikaitkan dengan indeks prestasi yang cuma 2,1 atau 2,2 saja.

Ada dosen yang mengintimidasi secara psikologis apabila kita para mahasiswanya tidak mampu dan mengerti kuliah yang diajarkannya. Seringkali kalimat ini yang terucap.

"Kamu tidak bisa mengerti materi ini...? Kucing saya di rumah, begitu saya ajarkan sekali saja sudah langsung mengerti........"
"Kamu pulang lewat mana ? Apakah lewat Simpang Dago...? Kalo lewat, disitu ada Rumah Makan Padang. Kamu jual saja otak kamu kesana. Lebih bermanfaat......"

Bahkan seringkali waktu kita mengajukan proposal untuk topik sebuah penelitian, kita bisa sampai mengajukannya berkali-kali dengan topik yang berbeda-beda karena tidak di-acc alias disetujui. Rekan saya pernah mengajukan proposal hingga 8 topik yang berbeda. Karena saking jengkelnya, rekan saya ini mengajukan topik yang ke-9 itu sama persis seperti topik yang pertama kali diajukan. Mau tau apa komentar dari dosen kita itu....?

Komentarnya adalah : "Nah.....ini yang memang saya tunggu-tunggu.....! Edan tenan khan.....!

Namun kesemuanya itu sebetulnya karena para dosen kampus kami itu ingin agar mahasiswanya bersiap-siap dalam menghadapi dunia kerja. Dunia kerja adalah dunia yang keras sehingga para mahasiswanya perlu digodok dalam "Kawah Candradimuka" laksana kisah pewayangan Sang Ksatria Gatotkaca yang pada waktu masih jadi jabang bayi dicemplungin ke dalam kawah Candradimuka. Namun kita semua para mahasiswa tidak pernah merasa dendam dengan para dosen. Bahkan menjadikannya sebagai kenangan manis.

Kejadian lainnya adalah pada waktu saya sudah lulus kuliah dengan pas-pasan dan bekerja disebuah perusahaan swasta lokal. Sang big bos kami bertemperamen keras dan pemarah. Kami semua di kantor sering berada pada kondisi yang sangat tidak nyaman. Big bos kami memiliki kebiasaan tidak suka apabila ada karyawan yang tidak bekerja. Jadi jika beliau lewat, berpura-puralah bekerja, meskipun pekerjaan kita sudah selesai. Apabila tidak, cacian & makian akan bernyanyi di sekeliling ruangan kantor. Seluruh karyawan akan mengetahui siapa yang sedang dibantai.

Kalimat pembantaian itu seperti ini : "You sedang apa...? Malas-malasan you..... Bikin bangkrut company.......!" You sering tipu company yah.....! You tidur saja dirumah, jangan kerja di sini..!....Makan gaji buta you yah.......!"

Seringkali saya selalu melihat rekan-rekan saya yang dipanggil beliau pastilah berkeringat dingin, gemeteran dan ketakutan. Ini adalah sebuah Management by Fear. Tidak heran dari semua karyawan, terdapat 70% yang pernah mengutarakan dalam kalimat ingin membunuh beliau kalau ada kesempatan. Untuk hal yang ini, alhamdulillah saya tidak pernah berfikiran untuk membunuh beliau. Saya hanya berkeyakinan bahwa bapak ini pasti akan terkena batunya suatu saat atau minimal Tuhan akan membalasnya di dunia ini atau di akhirat sana.

Banyak sekali karyawan yang sakit hati bahkan dendam terhadap beliau hingga setiap karyawan yang resign baik secara baik-baik atau di PHK, kesemuanya ini mengaku membenci dan dendam terhadap beliau.

Ini bisa kita analogikan dengan kita dan sebuah paku. Memang betul sekali kita bisa memukul paku tersebut ke sebuah kayu yang mulus dan mencabut kembali paku tersebut dari kayu itu. namun kita bisa melihat bahwa kayu itu tidak akan kembali ke wujud aslinya karena sudah dilukai oleh kita. Lubang di kayu tersebut akan membuat kayu menjadi semakin rapuh dan tidak kokoh. Hal yang sama berlaku juga dengan manusia.

Kedua pengalaman saya yang berharga ini, ditambah dengan informasi berita dari sebuah stasiun televisi membuat saya berfikir dan merenung bahwa sebagai manusia kita harus bisa melakukan komunikasi. Setiap permasalahan dan persoalan baik yang ringan maupun yang sulit untuk dipecahkan mengharuskan kita untuk melakukan komunikasi dengan baik. Inilah yang disebut dengan "Intelektual".

Seseorang disebut dengan intelektual apabila dia mampu berkomunikasi dengan seluruh lapisan dan golongan masyarakat. Seorang yang memiliki gelar yang panjang dan indeks prestasi yang tinggi belumlah bisa disebut intelektual apabila dia belum bisa berkomunikasi dengan pemulung, anak jalanan, tukang sapu jalanan, karyawan, manager perusahaan, direktur bahkan presiden sekalipun.

Salam
Widhi Setyo Kusumo

http://widhisetyok.blogspot.com/
http://salarysurvey-indonesia.blogspot.com/

05/01/08

Dunia membutuhkan seorang Avatar

Pemanasan global sudah menjadi trendsetter yang sangat kuat dalam beberapa bulan ini. Cuaca sudah tidak lagi bisa diprediksi. Perubahan iklim akibat pemanasan global kini bukan lagi sebuah wacana namun benar-benar telah menghampiri kita semua.

Beberapa catatan penting :
1. Badan Meteorologi Dunia (WMO), suhu bumi pada tahun 2006 meningkat 0,420C di atas rata-rata 1961-1990. Suhu di tahun itu merupakan suhu terpanas ke-6 dalam sejarah kehidupan di bumi.


2. British Meteorological Office (BMO) dalam laporannya mencatat bahwa pada Januari 2007 ini terjadi kenaikan suhu sebesar 0,540C dari suhu rata-rata 1961-1990. Kenaikan suhu pada 2007 ini melampaui kenaikan suhu pada 1998 yang hanya berkisar 0,520C. Padahal kenaikan 0,020C saja sudah dapat membunuh beberapa spesies di muka bumi ini.

3. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) 2007. Di tahun ini IPPC mengeluarkan laporan dari tiga kelompok kerja. Laporan tersebut secara tegas menyebutkan "tidak ada keraguan akan masalah perubahan iklim; memastikan bukti-bukti dari perubahan iklim dengan yakin; skala dan percepatan dari dampaknya terhadap kehidupan manusia dan ekosistem akan sangat tinggi; menghindari perubahan iklim ekstrem dapat dilakukan dengan bantuan teknologi dan ekonomi namun waktu untuk bertindak tidak banyak"

Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lainnya dipastikan akan menjadi pihak yang sangat rentan terkena dampak dari perubahan iklim itu. Padahal negara-negara dunia ketiga bukanlah negara penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global dan perubahan iklim. Emisi GRK terbesar justru dihasilkan oleh negara-negara kaya seperti Amerika Serikat (AS). Satu orang AS menghasilkan efek emisi sebanding dengan 17 orang Maladewa, 19 orang India, 30 orang Pakistan, 49 orang Sri Langka, 107 orang Bangladesh, 134 orang Bhutan dan 269 orang Nepal. Lantas, adilkah bila rakyat di negara-negara berkembang nanti harus menjadi korban dari perubahan iklim?

Ketidakdilan itu sebenarnya telah diusahakan untuk dikoreksi oleh Protokol Kyoto dengan mengadopsi prinsip 'common but differentiated responsibilities', yaitu prinsip tanggung jawab bersama namun dengan beban yang berbeda-beda. Konsekuensinya, protokol tersebut mewajibakan negara-negara maju yang tergabung dalam negara Annex-1 untuk untuk mengurangi emisi GRK-nya rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi 1990 selama periode tahun 2008 - 2012.

Lho, lantas apa hubungannya dengan Avatar ?
Kebetulan sekali, putra saya sangat menyukai film karton "Avatar, Legend of Aang". Putraku ini keranjingan sekali dan akan marah bukan kepalang apabila chanel televisinya diganti. dalam aksara cina, avatar berarti "Perantara Tuhan Yang Turun ke Dunia Fana"


Kisah Avatar ini adalah bermula pada dunia yang terdiri dari 4 element atau suku bangsa besar :
1. Suku Air terdiri dari (suku air kutub utara dan suku air kutub selatan), menguasai element air dan es
2. Suku Tanah yang menguasai element tanah dan batu-batuan
3. Suku Api, yang menguasai element api dan petir
4. Suku Angin, yang menguasai element angin

Pada setiap musim, selalu ada Sang Avatar yang bisa meredam, mendamaikan dan mempersatukan seluruh element (bangsa di dunia) agar terhindar dari mara bahaya. Karena Sang Avatar menguasai keempat element dari semua unsur yang ada di muka bumi. Dengan kata lain, avatar ini adalah jagoannya / "The One & Only"

Namun kisahnya dimulai pada suatu masa, sebuah element (suku api) ingin menguasai dunia dan mulai melakukan ekspansi penjajahan ke seluruh dunia. Perlawanan demi perlawanan mulai dilakukan hingga titik darah yang penghabisan.

Cerita ini mirip sekali dengan kondisi dunia kita yang sudah labil, tidak menentu akibat adanya pemanasan global yang disebabkan oleh negara-negara maju sebagai "faktor utama" dan negara berkembang sebagai "faktor pendukung".

Suku Api diibaratkan seperti Amerika Serikat yang dengan pongahnya menolak semua opsi yang ada (meskipun akhirnya sedikit melunak......) yang suatu waktu dengan sesadar-sadarnya tanpa ada yang bisa melawan dapat melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilakukan oleh suku api di kisah avatar.

Suku Tanah, diibaratkan adalah negara-negara Eropa, karena suku tanah terkenal akan kekuatan dan pertahanannya. Hal ini mirip seperti Eropa yang sangat kuat namun tidak bisa bersatu. Contohnya dalam mata uang euro saja meskipun sudah cukup baik namun masih belum dijadikan compare dengan dolar amerika.

Suku Air & Angin, diibaratkan seperti negara-negara Afrika dan Asia yang pada kenyataannya adalah negara-negara berkembang. Mungkin Indonesia adalah bagian dari suku Angin (versi saya...) yang berharap bisa membawa perubahan di dunia ini untuk menjadi lebih baik lagi.

Melihat dari persamaan-persamaan yang dapat kita ambil dari film karton tersebut kita dapat mengambil hikmahnya bahwa dalam setiap tindakan perusakan-perusakan di muka bumi baik yang disengaja maupun tidak akan mengakibatkan hilangnya keseimbangan dunia. Fatal akibatnya.

Tidaklah salah apabila kita mulai berharap bahwa Indonesia dapat menjadi "Sang Avatar" bagi dunia untuk membawa perubahan-perubahan sehingga kita tidak lagi menjadi takut dan mulai menjalin persahabatan, perdamaian, pelestarian serta menjaga lingkungan hidup.

Mari kita mulai dari sekarang.


Widhi Setyo Kusumo

Refferensi :
1. Satu Bumi Satu masa Depan, Cheryl Simon Silver
2. CSO Forum (
http://csoforum.net)
3. Avatar, Legend of Aang

You Pay Peanut............



Seringkali terdengar gerutuan nada tidak puas tatkala akhir tahun menjelang. Karena biasanya performance appraisal sudah dilakukan dan diterjemahkan ke dalam bentuk kompensasi yang paling diidam-idamkan oleh setiap karyawan yaitu Gaji.

Raut muka antara bahagia, sumringah, kecewa, kecut serta tak jarang kemarahan menjadi berpesta ria pada masa ini. Bagi yang memperoleh appraisal seperti yang diharapkan sudahlah pasti akan bersyukur dan berterima kasih kepada atasannya yang selama ini membimbing untuk mencapai kesuksesan.

Namun banyak pula yang mengalami ketidakpuasan namun tidak bisa berbuat apa-apa. Karyawan yang mengalami "nasib" seperti ini biasanya hanya memiliki beberapa pilihan :
1. Tidak mengeluh dan membiarkan hal ini terus menerus terjadi.
2. Mengeluh dalam hati, tetapi tidak berbuat apapun. (nothing to do)
3. Mengeluh dan bergosip ria mencari teman seperjuangan & pembenaran4. Mengajukan keberatan, namun tetap tidak ada perubahan karena memang kinerjanya yang buruk.

Pada posisi seperti ini biasanya beberapa dari karyawan akan berkata dalam bahasa inggris namun versi slank, "little-little to me, little-little to me, salary no up-up", you pay peanut, you get monkey.........

Ketika masih fresh graduate, saya juga pernah mengalami hal yang serupa dengan hal tersebut diatas. Dalam pengalaman kerja yang masih sangat minim & miskin dari pengetahuan, wawasan dan kebijaksanaan, serta kekesalan saya sendiri yang mengutarakan "you pay peanut, you get monkey"

Pada saat itu kebetulan rekan saya yang senior mendengar "kicauan" saya dan menepuk bahu saya sambil berkata.......jangan begitu pak........... kalimat yang seharusnya diucapkan adalah "You Pay Peanut, You Get Tiger, Lion & Eagle, Your journey are just to beginning"

Saya tersentak mendengar wejangan beliau tersebut. Rekan senior saya ini berbicara dengan bahasa yang santun, sederhana dan dalam. Beliau kemudian melanjutkan perkataannya, "Kualitas akan ditentukan oleh diri sendiri, berikanlah waktu untuk menilaimu, dan kesungguhan yang tulus akan dibutuhkan segera di tempat yang memang membutuhkan
"

Seekor laba-laba dengan jaring pemangsanya tidak pernah berfikir untuk melakukan ekspansi ke negara lain untuk memperluas daerah kepredatorannya terhadap serangga. Ruang lingkup hidupnya berpusat di jaring-jaringnya. Ia akan segera memakan & mengganti jaring yang rusak dengan jaring yang baru. Itu adalah job description dari laba-laba dengan total kompensasinya adalah serangga yang terjerat di jaring-jaringnya. Seekor laba-laba tidak pernah marah-marah kepada Penciptanya karena ia hanya ditempatkan di sebuah tempat kecil berjaring-jaring lengket dengan diameter mungkin berkisar sekitar 0,3-1 meter.


Kamu masih panjang perjalanan, segera perbaiki kompetensi yang menjadi titik lemah, perkuat kekuatanmu agar kesemuanya itu menjadi laba-laba kecil yang sangat tangguh. Sejenak aku hanya diam membisu, malu mendengar rekan seniorku ini.

Kisah ini terulang lagi didepan mataku ketika salah seorang staffku (yang saya nilai cukup qualified dalam pekerjaannya, namun masih perlu diasah lagi) menggerutu di ruang pantry dan tertangkap basah olehku. Dia malu-malu kucing ketahuan. Jurus masa lalupun aku keluarkan untuk memberikan sedikit pencerahan untuk staffku yang baru menginjak setahun bekerja ini.

Memang, segala bentuk kompensasi, itu selalu tidak akan pernah membuat puas semua manusia, karena pada dasarnya semua manusia itu ingin sesuatu yang lebih.

Widhi Setyo Kusumo
Custom Search