Custom Search

14/02/11

KANG SEJO MELIHAT TUHAN


Bukan salah saya kalau suatu hari saya ceramah agama di depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya, Islamnya menggebu. Artinya, Islam serba berbau Arab. Jenggot mesti  panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti ditujukan buat meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu semua jelas tidak Islami.


Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur aduk dengan wayang. Dus, kalau pakai kaca mata Geertz, seislam-islamnya saya, saya ini masih Hindu. Memang salah saya, sebab ketika itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia satria-pandita. Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi. Jasad di bumi,  roh menemui Tuhan. Ini turu lali, mripat turu, ati tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia kaum sufi.

Biar  masih  muda,  hidup  Gatutkaca  seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat ...

Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar. Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal. Namun, yang tak banyak itu saya amalkan.


"Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak diamalkan buat apa?" kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel Sriwedari, Yogya. Apa yang lebih indah dalam hidup ini, selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa hidup jadi kepenak, nikmat.

Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut "raja." Wanita ini hamba yang total.  Hidupnya buat cinta. Gemerlap dunia tak menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi. Pernah ia berkata, "Bila Kau ingin menganugerahi aku nikmat duniawi, berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi, berikanlah pada sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup."

Ini tentu berkat ke-"raja"-annya. Lumrah. Lain bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf, Kang, saya sebut itu- tunanetra.

Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab ia tak tahu. Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare (Allah tak pernah tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat. Soal ruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: "Duh, Gusti, Engkau yang tak pernah tidur ..." Cuma itu.


"Memang  sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga sederhana," katanya, sambil memijit saya.

Saya tertarik cara hidupnya. Saya  belajar. Guru saya ya orang macam ini, antara lain. Rumahnya di Klender. Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M. Ketika saya tanya, apa yang dilakukannya di sela  memijit,  dia  bilang,
"Zikir  Duh, Gusti ..." Di rumah, di jalan, di tempat kerja, di mana pun, doanya ya Duh, Gusti ... itu. Satu tapi jelas di tangan.

"Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?" tanya saya.

"Tidak saya hitung."

"Lho,  apa tak ada aturannya? Para santri kan dituntun kiai, baca ini sekian ribu, itu sekian ribu," kata saya.

"Monggo mawon (ya, terserah saja)," jawabnya. "Tuhan memberi kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah pun tanpa hitungan."

"Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang," saya memuji.

"Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid." Dia lalu ketawa.

Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan lama, seorang pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun yang lalu.

'Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?"

"Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga," katanya.

"Ayat menyebutkan itu, Kang."

"Monggo mawon. Saya tidak tahu."

Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya bahasa Jawa.

"Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?"

"Kalau sampeyan Dah Duh Gusti di bis apa penumpang lain ..."

"Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan."

Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang tetangganya. Karena disodor-sodori,  ia menyebut, "Duh, Gusti, yang tak pernah tidur  ..."  Pemberi zakat itu, entah bagaimana, ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal. Ia minta maaf.

"Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu haram"? tanya saya.

"Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali."

"Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?"

"Gusti Allah ora sare, Mas," jawabnya.

Ya, saya mengerti, Kang Sejo.  Ibarat  berjalan,  kau  telah sampai.  Dalam  kegelapan  matamu  kau telah melihatNya. Dan aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-menerus

Mohammad Sobary, Tempo 12 Januari 1991

SANDAL JEPIT KESEDERHANAAN

Mungkin ada pesona tertentu yang menghubungkan rohani para penyair. Setahu saya, ada dua penyair yang terpesona pada kesederhanaan. Yang satu Taufiq Ismail. Yang satu lagi Emha Ainun Nadjib.

Bulan Juni, 1979, ketika Ki Mohamad Said Reksohadiprodjo meninggal dunia, Taufiq terharu. Ia merasa kehilangan. Ia lalu menulis sajak, buat mengenang orang tua sederhana tapi memancarkan kewibawaan itu.
Yang paling pertama ia ingat tentang  orang  tua  itu  ialah sandal   jepitnya,  yang  selalu  berbunyi  soh,  soh,  soh, menggosok debu Jakarta, menggosok debu Indonesia.

Di rumahnya, Taufiq mencari sepatu lari, yang ia beli di negara dunia kesatu.  Harganya, tentu saja, mahal. Dan itu membuat Taufiq malu mengenang kesederhanaan Ki Mohamad Said. Penyair ini silau melihat kehidupan orang tua itu.

Ketika Mohamad Kasim Arifin, mahasiswa IPB yang selama 15 tahun "menghilang" di Waimital, P. Seram,  kembali ke IPB dengan kisah suksesnya  membantu petani transmigran yang miskin, Taufiq juga terharu. Kasim, sahabatnya itu, meraih keberhasilan dengan swadaya, tanpa sepeser pun bantuan dana dari pemerintah.

Begitu melihat dirinya sendiri, seorang dokter hewan yang hanya bersyair-syair saja kerjanya (begitulah diakuinya dalam sajaknya untuk mengenang Mohamad Kasim Arifin), ia merasa perlu menyembunyikan wajahnya menyembul di kali Ciliwung itu. Kasim yang hidupnya tak gemerlapan itu pun, seperti halnya Ki Mohamad Said, membuatnya merasa malu, risi, dan bersalah.

Getaran apakah yang  membuat  kita  bisa  merasa  risau  dan terpojok  tak  berdaya  seperti  itu?  Mungkin  cuma  Taufiq sendiri yang tahu jawaban persisnya.
Tapi, saya kira Taufiq mengharapkan agar  kita  punya  lebih banyak  lagi tokoh seperti Ki Mohamad Said dan Kasim Arifin. Ia, dengan kata lain, tak  ingin melihat Ki Mohamad Said berangkat meninggalkan kita.

Kematian memang sering bisa memberikan kenangan seperti itu. Dan, celakanya, kita seperti baru sadar, bahwa orang seperti itu penting dan kita perlukan.

Dalam  "Sajak-sajak Sederhana"-nya, nampak bagaimana penyair Emha Ainun Nadjib gandrung pada kesederhanaan itu.

"Tuhanku" katanya.
"Ambillah aku sewaktu-waktu.
Kematianku kehendak sederhana saja.
Orang-orang menguburku hendaknya juga dengan sederhana saja."

Barangkali, ini pesan Emha. Tapi barangkali juga salah satu cermin dari pergulatan batinnya sebagai seorang seniman. Seperti Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib juga kuat memperlihatkan pada kita pemihakannya pada nilai kesederhanaan.


Ketika Soedjatmoko meninggal dunia, Emha juga menulis kenangan. Ada sesuatu yang ia kagumi pada diri intelektual beken itu. Oleh karena itu, tak segan ia menyebut Soedjatmoko sebagai ulama. Benar, kata Arab itu artinya memang persis mencerminkan kehidupan Soedjatmoko: orang yang banyak ilmu. Tapi pemberian gelar ulama itu jelas memiliki konotasi lebih: bahwa almarhum bukan cuma berilmu tapi juga, dan ini yang lebih penting, mampu memberikan teladan laku bagi siapa saja.

Goenawan Mohamad bahkan menyebut Soedjatmoko bukan cuma teladan ilmu, melainkan juga teladan "laku". Bagi Soedjatmoko, apa yang dikatakan dan yang ditulis tidak cuma cermin ketangkasan berolah-pikir, melainkan juga cermin pergulatan batinnya.

Orang  bilang, keteladanan adalah sesuatu yang hilang dari kita. Kita tak lagi punya sesuatu yang kita banggakan. Tak ada lagi sosok pribadi yang layak kita jadikan teladan.

Tampil secara sederhana saja misalnya, juga sesuatu yang tak mudah. Imbauan untuk menyederhanakan  hidup  sebetulnya  pas buat  kita.  Ia  bukan  cuma  problem  bagi  orang kaya yang cenderung hidup gemerlapan. Orang miskin pun,  entah  berkat rangsangan virus apa, banyak yang tak mau tampil apa adanya. Mereka tidak gemerlap,  mungkin  juga  memperlihatkan  sikap anti  pada gaya hidup itu, barangkali hanya karena belum ada kesempatan.

Benar kekaguman Taufiq pada Ki Mohamad  Said,  karena  orang itu  telah  membuktikan  dalam hidupnya. Ia bukan cuma orang sederhana, melainkan mungkin kesederhanaan itu sendiri.

Mohammad Sobary, Jawa Pos 12 Januari 1992

ALLAHU AKBAR

KH. Mustofa Bisri
 
 
Allahu Akbar!
Pekik kalian menghalilintar
Membuat makhluk-makhluk kecil  tergetar
Allahu Akbar!
 
Allah Maha Besar
Urat-urat leher kalian membesar
Meneriakkan Allahu Akbar
Dan dengan semangat jihad
Nafsu kebencian kalian membakar
Apa saja yang kalian anggap mungkar
 
Allahu Akbar, Allah Maha Besar!
Seandainya 5 milyar manusia
Penghuni bumi sebesar debu ini
Sesat semua atau saleh semua
Tak sedikit pun mempengaruhi KebesaranNya
 
Melihat keganasan kalian aku yakin
Kalian belum pernah bertemu Ar-Rahman
Yang kasih sayangNya meliputi segalanya
Bagaimana kau begitu berani mengatasnamakanNya
Ketika dengan pongah kau melibas mereka
Yang sedang mencari jalan menujuNya?
 
Mengapa kalau mereka
Memang pantas masuk neraka
Tidak kalian biarkan Tuhan mereka
Yang menyiksa mereka
Kapan kalian mendapat mandat
Wewenang dariNya untuk menyiksa dan melaknat?
 
Allahu Akbar!
Syirik adalah dosa paling besar
Dan syirik yang paling akbar
Adalah mensekutukanNya
Dengan mempertuhankan diri sendiri
Dengan memutlakkan kebenaran sendiri
 
Laa ilaaha illaLlah! 2005
Custom Search